Disini saya
hendak sedikit berbagi cerita tentang pengalaman saya tentang arti dari sebuah
“toleransi agama”. Saya tumbuh kembang di keluarga yang ketat melakukan
disiplin agama. Di rumah, ayah saya secara disiplin mengingatkan anaknya untuk
sholat, dan selanjutnya mengaji apabila sholatnya sholat maghrib. Namun halnya
ayah saya secara terang-terangan kurang menyukai orang dari agama lain. Sedikit
saya terpengaruh dengan sikap tersebut.
Namun disuatu
saat, ada sebuah kejadian, atau mungkin peristiwa yang mengajarkan saya untuk
memahami apa arti toleransi agama sebenarnya. Peristiwa ini terjadi beberapa
saat yang lalu ketika bulan september. Belakangan ini saya pergi ke Belanda, ke
rumah kakak laki-laki saya. Yang turut serta adalah om, tante, serta sepupu
saya. Sedangkan keluarga saya tidak turut serta, ya secara finansial kurang
memungkinkan kami semua pergi secara bersama-sama, saya diberi kesempatan pergi
kesanapun saya sudah bersyukur sekali.
Selain di
Belanda, kami juga pergi ke beberapa negara lain (yang ceritanya insyaAllah
akan saya post di posting2 selanjutnya:D), salah satunya adalah Italia. Di
Italia kami pergi ke Roma. Pesawat dari bandara Charles de Gaulle ke Bandara
Leonardo Da Vinci, Roma, berangkat sore hari. Kami sampai di Roma menjelang senja.
Dari bandara Leonardo da Vinci, kami memutuskan untuk naik bis seharga 5 euro,
berhubung naik kereta itu mahal sekali, sekitar 14 euro per orang.
Di dalam bis,
saya dan om saya saling berbicara dengan
bahasa jawa. Kami berdikusi sehubungan dengan ketidaksiapan kami menghadapi
Roma, karena kami memang belum mencari tahu sama sekali mengenai letak hotel
kami disana. Yang kami ketahui hanyalah bahwa hotel kami, hotel mariano, tidak
jauh dari stasiun central Roma, Termini Central. Dan ketika itulah tiba-tiba
ada orang yang yang menyapa om saya dan berkata “Bade tindak pundi mas?”, yang
subtitle nya adalah “Hendak pergi kemana mas?”. Tengtoong. Ternyata ada orang
indonesia disini. Dan kami terselamatkan karena bertemu dia.
Awalnya ia
mengaku sebagai pekerja atau pelayan sosial di Roma. Tetapi semakin kami korek,
kamipun mengetahui bahwa ia adalah seorang pastur yang sedang ditugaskan dalam
sebuah project di Roma. Ia bekerja pada Vatican. Kontrak kerjanya lima tahun,
dan ia telah 4 tahun di Roma. Dan karena ia pastur, ia tidak menikah dan
berkeluarga.
Sesampainya di
Termini Central, dengan murah hatinya ia menawarkan diri untuk membantu
mencarikan hotel kami. Teknisnya, ia dan om saya akan mencari lokasi hotel,
sedangkan saya, tante, dan sepupu akan menunggu di Termini Central. Luckily,
jadi tempat tinggal dia itu tidak jauh dari hotel kami, sehingga kamipun jadi
tidak terlalu merasa “rikuh” dibantu seperti itu.
Setelah alamat
hotel ditemukan, kami pun bergegas pergi kesana, karena sudah malam, dan
Termini Central terbilang rawan ketika malam menjelang. Sesampainya di hotel
kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan beliau. Eh
ternyata tidak sampai disitu, Ia menawarkan diri untuk menjadi Tour Guide kami
seharian besok. Bayangkan, kami yang buta roma, eh bertemu orang yang begitu
murah hatinya, jadi tour guide, for free lagi. Subhanallah, Allah sangat tahu
kebutuhan kita :D
Esoknya
seperti yang dijanjikan ia menjadi tour guide kami. Dengan tanpa banyak bicara
ia membimbing kami, ke Stadion Olympic, Vatican City, reruntuhan kota romawi,
Plaza Venezia, dan Colosseum yang terkenal ituuu! Ia orang yang baik, dan
sabar. Saya, yang cenderung suka sejarah, sering bertanya ini itu tentang
sejarah objek yang kami datangi, dan Ia dengan sabarnya selalu menjawab saya.
Panorama Vatican City |
Sungguh, kota
Roma sangat indah bagi ia yang pecinta sejarah. Sejarah kota ini sudah ada
sejak zaman romawi, sekitar hampir satu abad sebelum masehi. Dan bayangkan,
anda punya guide pribadi yang bisa memberi anda berbagai penjelasan tentang
objek-objek yang ada, indahnya.
Ternyata
kebaikannya tidak sampai satu hari saja, melainkan esoknya ia menawari untuk
menjadi guide kami lagi. Dan kami dengan senang hati menerima tawaran tersebut.
Esoknya, walau saya juga terkadang merasa kasihan melihat beliau yang sudah
cukup tua, dengan semangatnya menenteng backpack menemani kami berkeliling
kota. Hari itu tujuan kami adalah Pantheon, Fontana de Trevi, dan Plaza di
Spagna. Seperti biasa saya suka sekali bertanya ini itu pada beliau.
Fontana de Trevi. Banyak orang "nyemplungin" koin biara katanya bisa balik ke roma lagi. Yang ada saya jadi tukang ambilin koinnya :p |
Berhubung
nampaknya objek penting telah habis, dan om tante saya yang sudah mudah
kelelahan akhir-akhir ini, setelah berkeliling setengah hari, kami mampir ke
tempat tinggal pak pastur, yang sebut saja pak Bondan. Tempat tinggalnya adalah
sebuah rumah besar, yang lebih mirip hotel dimata saya ketimbang rumah.
Terletak tak jauh dari Colosseum, dengan gaya khas eropa dan kubah bermodel
Buroq, serta cat berwarna putih tulang.
Rumah itu
memiliki pagar elektris yang hanya bisa dibuka dengan tombol dari dalam, serta
sebuah gedung bertingkat lima dibelakangnya yang merupakan kumpulan puluhan
kamar, yang terhubung dengan bangunan rumah berbentuk buruq. Even, ada lift di
rumah itu! Makannya saya bilang mirip hotel. Disitu kami numpang memasak mie
yang tadi kami beli, serta minum-minum teh. Ia adalah orang Indonesia yang baik
hati. Entah mungkin terlepas dari misinya sebgaia pastur, tapi saya menganggap
ia mungkin begitu baik kepada kami karena merasa sesama orang Indonesia.
Poin yang
ingin saya sampaikan adalah, beginilah seharusnya orang bertoleransi. Mungkin
bagi kalian ini merupakan pengalaman yang biasa saja, tapi bagi saya ini
merupakan penglaman yang bermakna. Banyak orang disekitar saya yang masih tidak
bisa meresapi makna toleransi. Banyak orang yang kerjaannya suka mencaci atau
paling tidak menyindir pemeluk agama atau suku lain. Jaman kita sudah modern,
pikiran kita harus lebih terbuka. Bukan berarti kita menyepelekan apa yang kita
yakini, itu tidak ada hubungannya, namun toleransi bahkan diajarkan oleh
Rasulullah sendiri. Bagaimana ia memberi makan yahudi buta yang selalu
berbicara jelek tentang dirinya. Atau orang yang meludahi Rasulullah karena
tidak suka padanya, tapi Rasul tetap menjenguknya karena ia sakit. Bagaimana
sikap itu perlu kita teladani.
Setelah puas
beristirahat dan makan di rumah pak Bondan, kami berpamitan pergi. Kami harus
mengejar pesawat sore ini, untuk selanjutnya ke Venezia. Pak Bondan berkata ia
sangat senang bisa bertemu kami semua. Ia orang yang baik. Ia bahkan menanyakan
kabar kami sesampainya kami di Venezia. Semoga cerita ini bisa memberi teladan
bagi kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar